Minggu, 15 Juli 2012

Dystopia

Istilah ini bukan keluar begitu saja setelah semalam melihat judul lagu dari sebuah band yang tampil di televisi. Walaupun memang inspirasi kata ini keluar dari situ, dan aku penasaran seolah ingin tahu apa makna sebenarnya, karena aku terlalu asing dengan istilah ini. Begitu selesai melihat band tersebut, aku langsung mencari definisi kata tersebut melalui jaringan online. Dan anehnya kata tersebut tidak ditemukan di KBBI alias kamus besar bahasa Indonesia. Aku semakin penasaran akan arti dari dystopia. Setelah beberapa lama dalam pencarian, akhirnya aku menemukan sebuah sumber  www.artikata.com yang mengatakan dalam bahasa inggris "state in which the conditions of life are extremely bad as from deprivation or oppression or terror" dan "a work of fiction describing an imaginary place where life is extremely bad because of deprivation or oppression or terror". Yang dapat aku simpulkan secara singkat,padat dan jelas dystopia adalah tempat khayalan yang buruk. Artinya lagi adalah keadaan dimana berkhayal atau berimajinasi tentang hal-hal yang buruk, atau bisa juga berakhayal di situasi yang sebenarnya buruk dan tidak kondusif.
Aku mulai menghubungkan definisi tersebut dengan keadaan yang sedang ada dalam pikiranku. Karena kembali ke awal, kata ini tidak muncul begitu saja, tapi karena menurutku aku sedang mengalami dystopia. Ya benar...Aku sedang bermimpi. Aku bermimpi tentang suatu yang indah. Sesuatu yang suci. Sesuatu yang kata orang abadi dan sejatii. Aku sedang bermimpi tentang cinta. Namun yang salah disini adalah, aku bermimpi tentang cinta yang seharusnya tidak boleh aku rasakan. Aku bermimpi di suatu kondisi yang sebenarnya harus aku hindari. Tapi aku berkeras hati untuk tetap masuk ke dalam mimpi itu dan menikmatinya. Alasan-alasan di atas bukan karena latar belakang. Latar belakang dari semuanya adalah tentang prinsip dan idealisme. Suatu yang keramat, suatu yang benar-benar harus dijaga dalam menentukan arah kehidupan, I think. Dan aku mencoba menerobosnya.
Rasanya sudah muak dan benci dengan yang namanya "pain". Apalagi jika rasa itu menyerang ke bagian paling dalam dari jiwa manusia, yaitu perasaan. Trauma itu yang menghasilkan prinsip yang aku pegang. Tujuannya adalah untuk menjaga perasaan, dari rasa sakit tentunya. Beberapa lama aku pegang prinsip itu, dan hasilnya sangat baik. Sudah lupa rasanya bagaimana sakit itu, dan aku bisa bilang "ya, aku udah sembuh". Dan aku merasa berhutang pada prinsipku yang sudah menyembuhkan aku dari rasa sakit itu.
Seiring dengan berjalannya waktu, datanglah mimpi itu. Mimpi yang indah. Semacam ada seberkas sinar terang yang menghantarkan sebuah perasaan yang begitu berwarna-warni dan indah yang orang lain menyebutnya dengan istilah cinta. Dan sinar itu datang padaku lalu mempersilahkan aku untuk menikmati itu, mempersilahkan aku untuk masuk dan melupakan semua hal masa laluku. Semacam dia menawarkan obat lain untuk sakit hatiku selain aku harus memegang teguh prinsipku yang selama ini menjadi obatku. Dan aku menerimanya, aku menerima obat itu setelah sekian lama aku entah tidak bisa atau tidak mau untuk merasakan lagi apa yang disebut cinta. Tapi karena sinar yang datang dengan indahnya itu, aku rela meninggalkan semua prinsip dan aku mulai bermimpi dan berkhayal di dalam sinar tersebut.
Indah....begitulah cara menggambarkan mimpi itu. Sampai suatu ketika, mimpi tersebut kembali entah untuk yang kesekian kali memberikan aku rasa sakit. Dan aku seolah ditampar dengan begitu keras. Aku ditampar oleh diriku sendiri untuk segera bangun dan tersadar dari mimpi indahku itu. Aku ditampar karena diriku menganggap aku telah salah ketika aku mulai meninggalkan prinsipku dan memilih untuk berakhal. Sehingga timbul pertanyaan, seperti "Apa hanya prinsipku itu yang bisa memberikan rasa damai?Apakah tidak ada cara lain untuk mendapatkan kebahagiaan hidup?Apa aku tidak boleh mempunyai pasangan layaknya manusia lain dan hidup bahagia bersama?"
Kembali waktu yang akan menjawab.


Tolong, bangunkan aku jika sekarang aku sedang bermimpi!

Dari aku yang akan selalu bercerita. 

1 komentar:

  1. Actually, Rasa sakit itu kita yang buat. Sebenernya kamu ga perlu merasakan sakit ketika kamu diharuskan bermimpi. Rasa sakit itu hanya muncul ketika sebuah prinsip terlalu diagung2kan tanpa memikirkan nasib orang yang terkena dampaknya :) ik hou van je, bay !

    BalasHapus