Jika
diingat beberapa tahun silam, ya antara tahun 2000-2007an lah kira-kira, banyak
sekali bermunculan band-band indie di Yogyakarta yang memang bisa dibilang
mumpuni dan bisa bersaing dengan band di mayor. Selain itu juga banyak kita
jumpai gigs-gigs kecil yang benar-benar memfasilitasi band indie tadi untuk
berekspresi dan memamerkan musiknya ke masyarakat awam. Gigs inilah yang
menjadi cikal bakal tumbuh dan berkembangnya musik indie di Yogyakarta. Sebuah
gigs bisa dijadikan fasilitas yang efektif untuk mereka band indie yang
musiknya kurang bisa diterima di kalangan luas. Selain itu, gigs juga bisa
dijadikan ajang bertemu dan berkumpulnya berbagai komunitas musik yang ada
untuk sekedar sharing dan menjalin silaturahmi satu sama lain. Dari fenomena
ini bisa dilihat adanya simbiosis mutualisme yang sangat erat antara komunitas
indie dengan sebuah gigs atau konser musik kecil yang sejenis. Suatu kondisi
yang sangat enak dilihat dan dinikmati saat itu.
Namun
semuanya itu kini hilang ditelan bumi. Ya, memang sedikit lebay didengarkan. Mungkin
lebih tepatnya jarang kita temui khususnya di Yogyakarta. Seperti yang sudah
dibahas di awal, jarang bermunculan lagi band-band indie yang memang
berkualitas seperti dulu, dan semuanya seakan seragam. Selain itu, juga jarang
lagi kita temui gigs-gigs kecil yang memang dibuat untuk ajang ekspresi para komunitas
indie seperti dulu. Fenomena lain yang terlihat adalah dari band indie yang
terdahulu. Ada dua kemungkinan besar dari mereka di waktu sekarang, yang
pertama adalah mereka sudah membuat album sehingga enggan untuk main di sebuah
gigs kecil yang notabene tidak mendapatkan uang dari penyelenggara. Dan kemungkinan
yang kedua adalah mereka bubar karena kesibukan masing-masing personil. Ya,
seperti inilah gambaran yang ada untuk scene indie di Yogyakarta. Money oriented yang menjamur juga tidak hanya
datang di band atau komunitas indienya saja, namun juga dari para penyelenggara
gigs yang sekarang sudah berorientasi pada uang semata. Banyak oknum yang
memanfaatkan keeksisannya dulu untuk sekarang membuat acara yang memang lebih besar
dan mewah asalkan bisa mendatangkan banyak rupiah, walau konten dan konsep
acaranya tidak jelas dan cenderung menguangkan komunitas indie yang mereka
ajak. Acara gigs saat ini jarang yang benar-benar untuk sekedar menjadi
fasilitas untuk para band indie mengekspresikan musik dan komunitasnya, sebuah
acara yang sekedar dijadikan ajang silaturahmi untuk lebih mengakrabkan sesama
komunitas indie di Yogyakarta. Lalu dimanakah idealisme dan roots mereka
sebagai penggerak indie di Yogyakarta? Apakah semuanya harus dibiarkan hilang
dan terkubur seiring dengan kebutuhan perut yang semakin mendatangi mereka? Karena
disini berbicara masalah idealisme, berbicara mengenai orientasi dan berbicara
mengenai seni. Lebih parahnya lagi jika
kita bisa melihat fenomena ada beberapa oknum yang benar-benar menjual
band-band indie yang sekiranya memang bisa menguntungkan oknum tersebut.
Contohnya aja oknum A yang memang namanya sudah terkenal sebagai pembuat
gigs-gigs jaman dulu. Oknum A ini melihat band-band indie yang dia rasa
berkelas dan bisa untuk dia jual, sehingga dia menawarkan untuk menjadi manajer
band tersebut dan mematok harga dan berbagai rider yang sudah diluar standart
untuk sebuah band indie. Inilah fenomenanya.
Seiring
dengan berjalannya waktu, fenomena ini bisa dibilang semakin menjadi-jadi. Dan kini
bahkan diperparah dengan fenomena band indie yang lebih memilih untuk jual
mahal apa yang mereka miliki. Maksudnya disini adalah, semakin jarangnya gigs
yang memfasilitasi mereka, mereka pun juga jarang main karena untuk masyarakat
jaman sekarang banyak yang belum tahu band-band indie yang dulu seperti apa. Padahal
mereka atau band-band indie yang sudah lama berdiri ini sekarang sudah
melahirkan album-album, sehingga untuk mainpun mereka sudah mematok harga
khusus. So, kalo masyarakat jaman sekarang belum atau bahkan tidak tahu siapa
mereka dan bagaimana musik mereka bagaimana mereka bisa main dan dibayar?
Intinya disini adalah, saat ini sudah tidak ada lagi fasilitas bagi mereka
untuk memamerkan siapa mereka, sudah tidak ada media yang efektif untuk
memasarkan mereka. Sedangkan jika ada orang-orang baru yang mau menjadi
fasilitas bagi mereka band indie untuk memamerkan kreativitasnya, mereka malah
sok jual mahal dan cenderung menganggap remeh orang-orang baru ini. Padahal kalau
tidak ada orang-orang baru ini siapa lagi yang bisa mereka manfaatkan untuk
menjadi fasilitas mereka? Tidak ada feedback yang menyenangkan dari mereka
band-band indie lama yang sekarang jarang main untuk kembali dinaikkan lagi
namanya oleh orang-orang baru yang bersimpati atas scene indie Yogyakarta.
Okelah kalau mereka masih sering main dan laris dipasaran, kalau main saja
tidak pernah dan masih sok jual harga mahal untuk sebuah gigs kecil? Harus bagaimana
menanggapi band-band semacam itu? Pertanyaan ini yang harusnya ada dalam
pikiran mereka masing-masing.
So,
sekarang siapa yang patut untuk disalahkan atas fenomena ini? Karena
kesimpulannya dari tulisan di atas adalah bisa dibilang “Money Oriented” membuyarkan semua idealisme yang ada. Ketika
semuanya sudah terpojokkan masalah uang, idealisme disingkirkan jauh-jauh.
Kesimpulannya lagi adalah sudah tidak ada hubungan simbiosis mutualisme yang
terlihat antara band dan gigs yang ada. Semuanya seolah berjalan sendiri dan
sudah tidak saling mendukung satu sama lain. Jika semuanya terus seperti ini,
maka tidak akan ada solusi yang tepat untuk menyelamatkan scene indie di
Yogyakarta khususnya. Harus ada sesuatu yang mau difasilitasi dan
memfasilitasi, dengan kesadaran seperti ini maka keadaan scene di Yogyakarta
bisa kemabali seperti beberapa tahun silam.
Regards untuk scene indie Yogyakarta. Sukses selalu untuk
scene indie Yogyakarta.