Sabtu, 30 Juni 2012

RESAH

Dari sekian banyak hasil tulisan guweh di blog ini, baru kali ini nih guweh ngomongin masalah hati dan perasaan..hahahaha...entah karena apa dan siapa, yang jelas lagi bergumam dengan yang namanya perasaan nih guweh berow...Ash pregh lah ya,ra urusan...hahahaha...
Hmmmmm....klise..iya klise...masalah yang klise tapi emang bener2 bisa jadi dilema,kayak lagunya Cherybelle kan ya..tapi buka masalah itu..yang bener adalah masalah "religion".Ya...agama..Sehingga aku bertanya,kenapa harus ada 5 agama atau 6 ya sekarang di negara tercintaku ini???Hmmmm..jujur,aku 2 kali terjerumus di masalah itu. Terus,aku mau nyalahin saiapa???Negara???orang tua???apa TUHAN???entah...yang aku tahu hanya TUHAN itu maha penyayang dan maha adil..tapi, kenapa harus ada perbedaan???kalo perbedaan itu indah, dan perbedaan itu bisa saling melengkapi,kenapa tidak demikian dengan perbedaan yang 1 ini???
Entah sampe kapan aku bakal bergumam di situasi ini.,situasi dimana membuat aku bener2 ga bisa berfikir. apa aku harus pergi sehingga dibilang egois..Yap,i'm selfish..i know it..but...you don't know with my situation..i can't give you more..yang jelas,aku ga mau mengulang kesalahan untuk yang kedua kali, karena hanya orang gila yang melakukan hal seperti itu... :))))
Udah akh ngomongin masalah itunya.,ntar dimarahin sama TUHAN.. #eh
Masalah yang kedua sebenernya sama-sama rumitnya sih,walau ga serumit hukum Phytagoras atau rumus kecepatan sih. Hmmmm... "No Strings"...means no jealosy,no expectations,no fighting,no flowers,no baby voices. and it means they can do whatever they want,whenever they want,in whatever public space they want,as long as they don't fall in love. kejem ya .tapi saat ini aku menganutnya. Rasa dimana sedang antipati dengan yang namanya komitmen.entah karena apa,entah karena siapa.Mungkin karena aku sedang berada di titik atau zona nyamandengan diri sendiri sehingga tidak peduli dengan masalah itu, walau ada kegelisahan yang terjadi. tanpa ngomong munafik saat ini aku sedang membicarakanmu. iya kamu....Entah sampe kapan aku bisa membuat kamu nyaman dengan harapan yang kosong. Sebenernya semua ini untuk kamu,iya kamu. ketika aku ga mau melihat kamu bersedih atau bahkan sakit karena hanya seorang Yohan Bayu rizky Ardhika.Hmmmmm....
Dan memang tulisan ini hanya untuk #Kamu...dan tulisan ini ga akan ada ujungnya sampai #Kamu pergi.

I miss you, Nancy.I miss when we laugh in madness together, Nancy.
We are Partner in Crime.
-Sid-

Saat Komunitas Berevolusi Menjadi Industri

        Distribution Outlet,ya...atau yang sering kita dengar dengan istilah Distro ini memang sudah tidak asing lagi di telinga kita sebagai youth culture. Distro mulai dikenal pada awal tahun 2000 silam, dengan beberapa distro sebagai pelopor. Bandung dan Jakarta bisa disebut sebagai kota asal mula adanya distro, karena dari sanalah distrodistro kecil mulai berdiri. Sebut saja Ouval Research, Eat 347 dan Cosmic yang lebih dulu dikenal di kota Bandung, yang hingga kini masih eksis bahkan semakin dicari orang. Mulai dari situ, kini distro sudah seprti warung rokok yang ada dimanamana, bahkan di setiap kota kita dapat menjumpai distro mulai dari yang kecil sampai yang besar.
            Apa sih sebenarnya distro itu? Mungkin pertanyaan ini yang sekarang menjadi tanda tanya besar. Ya...distro atau distribution outlet adalah sebuah alternative untuk para penggerak scene indie yang tidak memiliki modal tapi bisa menghasilkan sebuah kreativitas untuk memasarkan hasil karyanya tersebut. Oleh sebab itu, distro juga tidak bisa dipisahkan dari culture indie. Sehingga para seniman urban tetap bisa memajang hasil karyanya dan menjualnya lewat distro. Sebenarnya tidak terbatas pada clothing saja, tapi bisa juga segala macam karya urban art lainnya. Hal lain yang dapat dijadikan ciri khas distro adalah dari sebuah distro yang ada pasti akan membentuk komunitasnya sendiri, karena tujuan utama distro adalah membentuk suatu komunitas urban yang dapat berkreasi di dalamnya.
            Dan seiring berjalannya waktu, distro semakin digemari oleh para youth culture untuk berbelanja pakaian daripada di mall atau factory outlet. Hal ini disebabkan karena barangbarang yang dijual di distro tidak kalah kualitasnya serta harganya jauh lebih murah dengan yang dijual di mall ataupun factory outlet. Selain itu, untuk masalah perkembangan trend pakaian yang ada, distro selalu update, misalnya untuk masalah desain yang diutamakan oleh youth culture. Tentu ini sangat menarik konsumen, apalagi mengingat youth culture yang sedang dalam masa labil dan mudah untuk dibawa arus seturut dengan perkembangan yang ada.
            Dari sinilah mulai terjadi pergeseran makna dari distro menjadi factory outlet. Mengapa demikan? Yaitu di saat distro kini mulai meninggalkan esensi dan rootsnya. Yang tadinya sebuah distro sama sekali tidak berorientasi pada profit semata, namun kini profit adalah tujuan utama orang membuat distro. Selain itu, sudah tidak ada komunitas di dalam distro tersebut karena semua telah berubah menjadi industri. 
            Siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Sangat kompleks bila kita membicarakan hal tersebut, karena banyak pihak yang telah merubah esensi ditro dari sebuah komunitas menjadi sebuah industri. Mulai dari para oportunis yang membuat distro hanya untuk mengejar profit, dan jika dilihat dari latar belakangnya tidak jelas kemana juntrungannya. Hal ini banyak terlihat dari distrodistro kecil yang kian banyak namun juga kian menghilang. Selain itu juga dari clothingnya sendiri, banyak yang asal dalam membuat clothing, yang penting laku, mungkin itu tujuannya. Dapat dilihat dari desain yang hanya mengekor desaindesain clothing yang sudah ada. Parahnya lagi, dari para clothingannya sendiri, lihat saja para brandbrand yang banyak dicari orang, mereka sudah menerapkan sistem jual putus karena mereka sudah masuk ke industri yang jelas tidak mau rugi jika tidak laku, biar distronya saja yang rugi. Sungguh ironis memang keadaan seperti ini, ketika sudah tidak ada lagi saling mendukung antara clothing dan distro yang menjual barang mereka.
            Mungkin memang kita tidak bisa munafik. Siapa sih yang mau rugi terus? Kapan bisa berkembang jika kita hanya mengandalkan konsinyasi? Iya kalau barangnya laku,kalau tidak gimana? Banyak sekali faktorfaktor yang muncul ketika melihat latar belakang evolusi yang terjadi pada sebuah distro. Lalu sekarang siapa yang akan peduli pada senimanseniman urban yang masih benarbenar mengandalkan distro untuk memasarkan barangnya? Bisa dijawab tidak ada lagi. Karena bisa dibilang kalau sekarang ini sudah tidak ada lagi distro, karena semua sudah menjadi industri dan semua telah berubah menjadi factory outlet seperti yang lainnya.
              Hal ini lagi-lagi didukung oleh EO-EO yang sekarang makin banyak bermunculan membuat eksebisi-eksebisi clothing. Taglinenya sih “Exhibition Indie Clothing”, tapi pada kenyataannya sama saja, hanya mengejar profit semata. Yang tadinya eksebisi semacam ini hanya diadakan setahun sekali dengan tujuan memang sebagai eksebisi para clothing indie, sekarang hampir setiap bulan di berbagai kota diadakan eksebisi semacam ini. Lagi-lagi anak mudalah yang menjadi sasaran empuk oleh para pembuat event tadi. Yang tadinya eksebisi tersebut hanya sebagai ajang untuk memamerkan produk-produk buatan lokal, kini mereka resmi berjualan dengan varian diskon yang menarik,ya...yang penting dagangan mereka laku. Sekali lagi bisa dibilang sangat ironis.
            Well, sekarang siapa yang mau bertanggungjawab akan fenomena semacam ini? Jelas tidak ada yang mau dipersalahkan, dan jangan saling menyalahkan. Ya, karena semua pihak sekarang sudah berorientai sama, yaitu keuntungan semata.