Distribution
Outlet,ya...atau yang sering kita dengar dengan istilah Distro ini memang sudah
tidak asing lagi di telinga kita sebagai youth culture. Distro mulai dikenal
pada awal tahun 2000 silam, dengan beberapa distro sebagai pelopor. Bandung dan
Jakarta bisa disebut sebagai kota asal mula adanya distro, karena dari sanalah
distro–distro
kecil mulai berdiri. Sebut saja Ouval Research, Eat 347 dan Cosmic yang lebih
dulu dikenal di kota Bandung, yang hingga kini masih eksis bahkan semakin
dicari orang. Mulai dari situ, kini distro sudah seprti warung rokok yang ada
dimana–mana,
bahkan di setiap kota kita dapat menjumpai distro mulai dari yang kecil sampai
yang besar.
Apa sih sebenarnya distro itu?
Mungkin pertanyaan ini yang sekarang menjadi tanda tanya besar. Ya...distro
atau distribution outlet adalah sebuah alternative untuk para penggerak scene
indie yang tidak memiliki modal tapi bisa menghasilkan sebuah kreativitas untuk
memasarkan hasil karyanya tersebut. Oleh sebab itu, distro juga tidak bisa
dipisahkan dari culture indie. Sehingga para seniman urban tetap bisa memajang
hasil karyanya dan menjualnya lewat distro. Sebenarnya tidak terbatas pada
clothing saja, tapi bisa juga segala macam karya urban art lainnya. Hal lain
yang dapat dijadikan ciri khas distro adalah dari sebuah distro yang ada pasti
akan membentuk komunitasnya sendiri, karena tujuan utama distro adalah
membentuk suatu komunitas urban yang dapat berkreasi di dalamnya.
Dan seiring berjalannya waktu,
distro semakin digemari oleh para youth culture untuk berbelanja pakaian
daripada di mall atau factory outlet. Hal ini disebabkan karena barang–barang yang dijual di
distro tidak kalah kualitasnya serta harganya jauh lebih murah dengan yang
dijual di mall ataupun factory outlet. Selain itu, untuk masalah perkembangan
trend pakaian yang ada, distro selalu update, misalnya untuk masalah desain
yang diutamakan oleh youth culture. Tentu ini sangat menarik konsumen, apalagi
mengingat youth culture yang sedang dalam masa labil dan mudah untuk dibawa arus
seturut dengan perkembangan yang ada.
Dari sinilah mulai terjadi
pergeseran makna dari distro menjadi factory outlet. Mengapa demikan? Yaitu di
saat distro kini mulai meninggalkan esensi dan rootsnya. Yang tadinya sebuah
distro sama sekali tidak berorientasi pada profit semata, namun kini profit
adalah tujuan utama orang membuat distro. Selain itu, sudah tidak ada komunitas
di dalam distro tersebut karena semua telah berubah menjadi industri.
Siapa yang patut dipersalahkan dalam
hal ini? Sangat kompleks bila kita membicarakan hal tersebut, karena banyak
pihak yang telah merubah esensi ditro dari sebuah komunitas menjadi sebuah
industri. Mulai dari para oportunis yang membuat distro hanya untuk mengejar
profit, dan jika dilihat dari latar belakangnya tidak jelas kemana
juntrungannya. Hal ini banyak terlihat dari distro–distro kecil yang kian
banyak namun juga kian menghilang. Selain itu juga dari clothingnya sendiri,
banyak yang asal dalam membuat clothing, yang penting laku, mungkin itu
tujuannya. Dapat dilihat dari desain yang hanya mengekor desain–desain clothing yang
sudah ada. Parahnya lagi, dari para clothingannya sendiri, lihat saja para
brand–brand
yang banyak dicari orang, mereka sudah menerapkan sistem jual putus karena
mereka sudah masuk ke industri yang jelas tidak mau rugi jika tidak laku, biar
distronya saja yang rugi. Sungguh ironis memang keadaan seperti ini, ketika
sudah tidak ada lagi saling mendukung antara clothing dan distro yang menjual
barang mereka.
Mungkin memang kita tidak bisa
munafik. Siapa sih yang mau rugi terus? Kapan bisa berkembang jika kita hanya
mengandalkan konsinyasi? Iya kalau barangnya laku,kalau tidak gimana? Banyak
sekali faktor–faktor
yang muncul ketika melihat latar belakang evolusi yang terjadi pada sebuah
distro. Lalu sekarang siapa yang akan peduli pada seniman–seniman urban yang
masih benar–benar
mengandalkan distro untuk memasarkan barangnya? Bisa dijawab tidak ada lagi.
Karena bisa dibilang kalau sekarang ini sudah tidak ada lagi distro, karena
semua sudah menjadi industri dan semua telah berubah menjadi factory outlet
seperti yang lainnya.
Hal ini lagi-lagi didukung oleh EO-EO yang sekarang makin banyak
bermunculan membuat eksebisi-eksebisi clothing. Taglinenya sih “Exhibition
Indie Clothing”, tapi pada kenyataannya sama saja, hanya mengejar profit
semata. Yang tadinya eksebisi semacam ini hanya diadakan setahun sekali dengan
tujuan memang sebagai eksebisi para clothing indie, sekarang hampir setiap
bulan di berbagai kota diadakan eksebisi semacam ini. Lagi-lagi anak mudalah
yang menjadi sasaran empuk oleh para pembuat event tadi. Yang tadinya eksebisi
tersebut hanya sebagai ajang untuk memamerkan produk-produk buatan lokal, kini
mereka resmi berjualan dengan varian diskon yang menarik,ya...yang penting
dagangan mereka laku. Sekali lagi bisa dibilang sangat ironis.
Well, sekarang siapa yang mau
bertanggungjawab akan fenomena semacam ini? Jelas tidak ada yang mau
dipersalahkan, dan jangan saling menyalahkan. Ya, karena semua pihak sekarang
sudah berorientai sama, yaitu keuntungan semata.